Jumat, 7 Maret 2025, Ust. Drs. Katimin memberikan tausyiah Ramadhan dengan tema Makna "Ilah" dalam Kalimat Tauhid Laa Ilaaha Illallah . Kalimat Laa Ilaaha Illallah (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ) adalah inti ajaran Islam dan merupakan deklarasi tauhid yang membedakan antara keimanan dan kekufuran. Kalimat ini bermakna “Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah.” Untuk memahami makna sebenarnya dari kalimat ini, kita perlu memahami arti kata "Ilah", konteks historis penolakannya oleh kaum Quraisy, serta bagaimana Rasulullah ﷺ menghadapi tantangan tersebut.
Makna "Ilah" dalam Laa Ilaaha Illallah
Secara bahasa, kata "Ilah" (إِلٰه) berasal dari kata أَلِهَ - يَأْلَهُ - إِلٰهَةً, yang memiliki arti "sesuatu yang disembah dengan penuh ketundukan dan kecintaan". Dalam istilah syariat, Ilah berarti sesuatu yang dijadikan sebagai sesembahan, baik berupa berhala, manusia, matahari, bulan, atau bahkan hawa nafsu seseorang.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, beliau menjelaskan bahwa makna Laa Ilaaha Illallah adalah:
> "Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah."
Artinya, segala bentuk sesembahan selain Allah adalah batil, dan satu-satunya Tuhan yang berhak disembah adalah Allah ﷻ. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌۭ وَٰحِدٌۭ ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ
*"Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."* (QS. Al-Baqarah: 163)
Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa Ilah bukan sekadar Dzat yang menciptakan, tetapi juga Dzat yang memiliki hak mutlak untuk disembah. Maka, sekadar mengakui Allah sebagai pencipta belum cukup, karena kaum Quraisy sendiri juga meyakini Allah sebagai pencipta tetapi tetap menyembah berhala mereka.
Mengapa Kaum Quraisy Menolak Laa Ilaaha Illallah?
Ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan ajaran tauhid kepada masyarakat Quraisy, mereka menolak dengan keras. Penolakan ini bukan karena mereka tidak mengenal Allah, tetapi karena mereka memahami konsekuensi dari kalimat Laa Ilaaha Illallah.
Mereka menyadari bahwa mengucapkan kalimat ini berarti meninggalkan seluruh sesembahan mereka selain Allah, termasuk berhala-berhala yang telah mereka sembah turun-temurun. Dalam Tafsir As-Sa'di, dijelaskan bahwa kaum musyrik memahami bahwa kalimat ini bukan sekadar lafaz, tetapi sebuah perubahan total dalam kepercayaan dan kehidupan sosial mereka.
Firman Allah tentang penolakan kaum Quraisy:
أَجَعَلَ ٱلْءَالِهَةَ إِلَٰهًۭا وَٰحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَىْءٌ عُجَابٌ
*"Apakah dia menjadikan sesembahan-sesembahan itu sebagai satu Tuhan saja? Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan."* (QS. Shad: 5)
Kaum Quraisy memahami bahwa jika mereka mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ, maka kekuasaan, status sosial, dan ekonomi mereka yang bergantung pada penyembahan berhala di Ka’bah akan runtuh. Oleh karena itu, mereka lebih memilih mempertahankan kepercayaan nenek moyang mereka.
Mengapa Rasulullah ﷺ Dihina dan Disebut Penyair Gila?
Kaum Quraisy menggunakan berbagai cara untuk menolak dakwah Rasulullah ﷺ. Salah satu cara mereka adalah menuduh beliau sebagai penyair gila. Hal ini dikarenakan penyampaian dakwah beliau yang penuh hikmah dan keindahan bahasa, sehingga mereka menganggapnya sebagai syair yang dibuat-buat.
Allah ﷻ membantah tuduhan tersebut dalam Al-Qur’an:
وَمَا عَلَّمْنَٰهُ ٱلشِّعْرَ وَمَا يَنۢبَغِى لَهُۥٓ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌۭ وَقُرْءَانٌۭ مُّبِينٌۭ
*"Kami tidak mengajarkan syair kepada Muhammad dan tidak pantas baginya. (Al-Qur’an) itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan."* (QS. Yasin: 69)
Dalam Shahih Al-Bukhari, diceritakan bahwa Abu Jahal dan tokoh Quraisy lainnya berkata:
*"Sesungguhnya Muhammad ini hanyalah seorang penyair yang gila."*
Tuduhan ini bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari ajaran tauhid yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ. Mereka ingin agar dakwah beliau dianggap sebagai sesuatu yang tidak masuk akal atau hanya sekadar karya sastra belaka.
Hadis Tentang Makna Laa Ilaaha Illallah
Dalam HR. Al-Bukhari & Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
*"Barang siapa yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan ikhlas, maka ia akan masuk surga."*
Namun, bukan hanya ucapan yang diterima, tetapi harus disertai dengan keyakinan, pemahaman, dan pengamalan. Dalam HR. Ahmad, Rasulullah ﷺ bersabda:
*"Barang siapa yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan mengingkari segala sesembahan selain Allah, maka haram darah dan hartanya."*
Ini menunjukkan bahwa kalimat tauhid bukan hanya sekadar ucapan, tetapi juga harus diwujudkan dalam perbuatan dan keyakinan hati.
Makna Ilah dalam Laa Ilaaha Illallah tidak hanya berarti Tuhan atau pencipta, tetapi sesuatu yang dijadikan sebagai tujuan utama dalam kehidupan dan disembah dengan penuh ketundukan. Kaum Quraisy menolak kalimat ini bukan karena mereka tidak mengenal Allah, tetapi karena mereka memahami konsekuensi besar yang harus mereka hadapi jika menerimanya.
Rasulullah ﷺ menghadapi berbagai hinaan dan tuduhan dari kaumnya, tetapi beliau tetap teguh dalam menyampaikan risalah tauhid. Kalimat Laa Ilaaha Illallah adalah dasar utama keislaman yang harus diyakini dan diamalkan oleh setiap muslim, bukan hanya sebagai ucapan, tetapi juga sebagai prinsip hidup yang mengarahkan seluruh aspek kehidupan kepada Allah semata.
Semoga kita termasuk orang-orang yang memahami dan mengamalkan makna tauhid dengan benar. Aamiin.